
JAKARTA, Pilarnesia.com — Kuasa hukum PT DTN, Fauzan Lawyer resmi melaporkan AH—suami dari mantan komisaris ANS—ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penggelapan aset perusahaan.
Aset yang dimaksud adalah satu unit kendaraan operasional jenis Toyota Fortuner yang hingga kini tidak dikembalikan, meski pemanfaatannya sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan perusahaan.
Laporan tersebut dilayangkan oleh kuasa hukum perusahaan, Fauzan Lawyer dari FRP Law Firm, dan tercatat resmi diterima oleh penyidik Polda Metro Jaya pada Senin, 14 April 2025.
AH dilaporkan dengan dugaan pelanggaran Pasal 372 KUHP tentang penggelapan serta Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Tak hanya itu, ANS sebagai eks komisaris juga ikut dilaporkan atas dugaan turut serta berdasarkan Pasal 55 KUHP karena dianggap lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Dalam kronologi yang diungkap Fauzan, peristiwa bermula ketika AH memperoleh fasilitas kendaraan dari PT DTN saat istrinya masih menjabat sebagai komisaris.
Fasilitas itu diberikan atas permintaan AH, dengan alasan kebutuhan operasional. Namun, tidak ada laporan penggunaan kendaraan yang disampaikan secara resmi kepada perusahaan.
Bahkan, sejak berakhirnya masa jabatan ANS, kendaraan itu tetap dikuasai oleh AH dan tidak pernah dikembalikan.
“Berdasarkan bukti – bukti yang telah dikumpulkan, AH diduga menguasai secara tidak sah satu unit mobil operasional perusahaan, dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi tanpa dasar hukum maupun pertanggungjawaban,” jelas Fauzan dalam konferensi pers.
Fauzan menyoroti bahwa tindakan AH tidak bisa dilepaskan dari peran istrinya, ANS. Sebagai pejabat struktural dalam perusahaan saat itu, ANS dianggap lalai menjalankan tugasnya sebagai Unsur Pelaksana Pengendalian Perusahaan (UPPT). Menurut Fauzan, ANS bahkan terkesan membiarkan tindakan suaminya berlangsung tanpa pengawasan atau klarifikasi.
“Sebagai pejabat UPPT, AHS seharusnya menjaga integritas dan aset perusahaan, bukan justru memfasilitasi penyalahgunaannya. Diamnya AHS bukan sekadar kelalaian, tapi indikasi kuat keterlibatan,” tegasnya.
Tidak adanya pengembalian mobil setelah jabatan ANS berakhir, dan ketidakterbukaan mengenai penggunaan kendaraan, memperkuat dugaan bahwa ada unsur kesengajaan dalam penguasaan aset tersebut. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya kerja sama diam-diam antara AH dan ANS, yang secara hukum dapat dikualifikasikan sebagai turut serta dalam tindak pidana.
PT DTN, melalui kuasa hukumnya, mengaku telah memberikan berbagai kesempatan kepada AH dan ANS untuk menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan.
Berbagai pendekatan persuasif hingga surat somasi resmi telah dikirimkan selama beberapa bulan terakhir. Namun, sikap tidak kooperatif kedua pihak membuat perusahaan tidak memiliki pilihan lain selain menempuh jalur hukum.
“Kami sangat menyesalkan sikap tidak kooperatif Saudara AH dan ANS. Padahal perusahaan telah memberikan waktu yang cukup panjang untuk penyelesaian secara kekeluargaan,” kata Fauzan.
Langkah hukum ini disebut sebagai bentuk mitigasi risiko agar perusahaan tidak menjadi korban berulang dalam kasus fraud internal.
Bagi FRP Law Firm yang menangani kasus ini, persoalan seperti ini sudah sering muncul di banyak perusahaan yang memiliki kelemahan dalam sistem kontrol dan pengawasan manajemen.
“Bagi perusahaan yang telah dirugikan oleh oknum jajaran direksi dan komisaris, perlu menyiapkan mitigasi risiko guna meminimalisir dampak kerugian. Laporan polisi terhadap AH merupakan bagian dari mitigasi risiko agar fraud tidak terulang,” tutur Fauzan.
Dalam pasal-pasal yang dikenakan, pelaku penggelapan diancam hukuman pidana maksimal empat tahun penjara berdasarkan Pasal 372 KUHP, dan lima tahun penjara sesuai Pasal 378 KUHP.
Sementara keterlibatan ANS dapat diproses melalui Pasal 55 KUHP karena dugaan turut serta atau pembiaran atas tindakan pidana yang terjadi dalam ruang lingkup kerjanya.
Fauzan menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal proses hukum ini sampai tuntas. Ia juga meminta aparat penegak hukum untuk bertindak profesional demi menjaga kepercayaan publik terhadap supremasi hukum.
“Kami akan memastikan proses hukum berjalan sesuai koridor yang berlaku, sekaligus mengembalikan aset perusahaan yang seharusnya,” pungkas Fauzan.***